đŻ Putra Putri Kh As Ad Syamsul Arifin
KH. R As'ad Syamsul Arifin adalah salah satu Pahlawan Nasional Indonesia yang juga merupakan ulama Tokoh NU, Beliau juga salah satu Murid dari KH. Khalil Ban
Oleh Kholilur Rohman* Gagasan KHR. Asâad Syamsul Arifin sebagai pahlawan nasional pertama kali dimunculkan Rais âAm PBNU, KH. Ahmad Shiddiq. Dia memunculkannya pada acara tahlil malam ke-6 pasca wafatnya Kiai Asâad pada tanggal 9 Agustus 1990 di masjid Jamiâ Ibrahimy Sukorejo Situbondo.
Pada akhir tahun 1924, Syaikhona Kholil yang mengetahui Kiai Hasyim Asy`ari tengah gundah gulana kemudian mengutus murid-nya As`ad Syamsul Arifin untuk mengantarkan tongkat disertai titipan ayat Al-Qurâan, Surat Thaha ayat 17-23 yang menceritakan tentang mukjizat Nabi Musa AS, untuk diberikan kepada Kiai Hasyim. Ayat tersebut berbunyi:
KH Sufyan yang masih saudara dari tokoh NU almarhum KH As'ad Syamsul Arifin itu saat ini menjabat Mustasyar DPP PKNU. Meski sudah berusia 93 tahun, ia masih rutin menemui masyarakat sehabis shalat Shubuh hingga pukul 08.00 WIB.
Dan jarak tempuh antara pasuruan-situbondo adalah 170 km. Ini menjadi bukti bagaimana saling terikatnya hati antara KH Abdul Hamid dan KH Asâad Syamsul Arifin. Juga bukti kewalian dari KH Abdul Hamid dan KH Asâad. Juga bukti bahwa orang yang jika ilmunya tinggi dan diamalkan maka tidak rasa menyombongkan diri. Semoga kita semua mendapatkan
KH. Asâad Syamsul Arifin merupakan seorang kiai yang aktif berperang melawan penjajah. Ia juga mengasuh pesantren Salafiyah Syafiiyah, Sukorejo, Banyuputih, Situbondo. Ia juga berperan menjadi pemimpin para pejuang di Situbondo, Jember maupun Bondowoso.
Dato' Seri H. Syamsul Arifin S.E lahir di Medan pada 25 September 1952. Sebelum menjabat sebagai gubernur, Dato' Seri H. Syamsul Arifin S.E menjabat sebagai Bupati Langkat dari 1999-2004 dan terpilih kembali pada tahun 2004-2008.
Putra dari KH R Asâad Syamsul Arifin itu meninggal dunia di Graha Amerta RS Dr. Soetomo, Surabaya, Jumâat (9/3), pukul 12.15 WIB. Sekretaris DPC PPP Situbondo Sumardi Mufid membenarkan wafatnya Pengasuh Ponpes di Situbondo dan sangat disegani tersebut.
KiaiHaji Raden Asad Samsul Arifin (lahir pada tahun 1897 di Mekkah dan meninggal 4 Agustus 1990 di Situbondo pada umur 93 tahun) adalah pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah di Desa Sukorejo, Kecamatan Banyuputih, Kabupaten Situbondo, Jawa Timur.
Selama hidupnya, Nabi Muhammad SAW memiliki 11 Istri dan 7 anak yang terdiri dari tiga anak laki-laki (Putra) dan empat anak perempuan (putri). Mereka adalah Qasim bin Muhammad, Zainab binti Muhammad, Ruqayyah binti Muhammad, Ummu Kultsum binti Muhammad, Fatimah az-Zahra, Abdullah bin Muhammad, dan Ibrahim bin Muhammad.
Judul: KHR Asâad Syamsul Arifin: Sejarah Hidup dan Pandangannya tentang Pancasila, Kajian Asas Pancasila Perspektif Maqashidus Syariah. Penulis: Abu Yasid. Tebal: XVI+160 halaman. Penerbit: Emir. ISBN: 978-602-0935-86-7 Peresensi: Syakir NF, mahasiswa Fakultas Islam Nusantara, Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia. Aktif sebagai Pengurus
Metode ini dicetuskan oleh Ustaz Syamsul Arifin Al-hafidz, pengasuh Pondok Pesantren Darul Hidayah, Kesilir, Wuluhan, Jember, Jawa Timur. Beliau awalnya adalah Koordinator Qiroati se-Jawa dan Bali. 5. Metode Tanzil, Pamekasan Madura. Metode ini dipelopori oleh KH Bayan Ahmad Mahfudz, pengasuh pesantren anak Al-Majidiyah, Pamekasan, Madura. 6.
weQXM. Asâad Syamsul Arifin 1897-1990 M. adalah putra pertama dari pasangan Syamsul Arifin 1841â1951 M. dan Nyai Hj Siti Maimunah binti KH Muhammad Yasin, masih ada hubungan keluarga dengan Syaikhuna Kholil Bangkalan 1820-1925 M.. Tak ada naskah memadai yang menjelaskan sosok Nyai Maimunah ini kecuali disebutkan sebagian sumber bahwa pernikahan Kiai Syamsul Arifin dan Nyai Maimunah berlangsung di Mekah pada tahun 1890 M. KH R. Syamsul Arifin sendiri lahir dari pasangan Kiai Ruham dan Nyai Nur Sari. Jika nasab Kiai Ruham bersambung hingga ke Sunan Ampel, maka Nyai Nur Sari disebut dalam sejumlah buku sebagai keturunan Raja Sumenep ke-29, Bendoro Saud, yang memerintah dari tahun 1750 M. hingga 1762 M. Bendoro Saud kerap ditulis sebagai anak keturunan Pangeran Katandur Sayyid Ahmad Baidhawi, salah seorang cucu Sunan Kudus. Kuburan Pangeran Katandur terletak di desa Bangkal, dua kilometer dari kota Sumenep. Hingga sekarang banyak peziarah yang datang, baik ke makam Bendoro Saud di Asta Tinggi maupun ke makam Pangeran Katandur, untuk kepentingan tabarrukan dan penelitian. Kiai Asâad lahir di Mekah ketika Kiai Syamsul Arifin studi di sana. Dan Kiai Syamsul Arifin telah menghabiskan 40 tahun dari 110 tahun usianya di Mekah. Di Mekah, Kiai Syamsul Arifin berguru kepada banyak ulama besar seperti Syaikh Nawawi Banten 1813-1897 M. yang 24 karyanya banyak dibaca di pesantren-pesatren Jawa dan Madura. Kiai Syamsul Arifin juga sempat belajar pada Sayyid Abi Bakar ibn Muhammad Syatha al-Dimyathi 1849-1892 M./ 1226-1310 H. pengarang kitab Iâanah al-Thalibin dan Kifayah al-Atqiyaâ, dua kitab yang juga banyak dikaji di pesantren. Sayang sekali Sayyid Abi Bakar Syatha tak memiliki umur pajang. Beliau wafat dalam usia 43 tahun. Namun, sebelum wafat, Sayyid Abi Bakar Syatha masih sempat berguru pada Syaikh Ahmad Zaini Dahlan 1816-1886 M., pengarang kitab yang sangat masyhur di Nusantara, syarah al-Ajurumiyah. Tak hanya Sayyid Abi Bakar, rupanya Syaikh Nawawi Banten dan Kiai Mahfudh Termas 1868-1920 M. juga berguru kepada Syaikh Ahmad Zaini Dahlan. Tak tertutup kemungkinan Kiai Syamsul Arifin yang saat itu juga sedang studi di Mekah sempat berguru pada Syaikh Ahmad Zaini Dahlan. Setelah puluhan tahun berada di Mekah, Kiai Syamsul Arifin bersama keluarganya termasuk Kiai Asâad yang masih kecil pulang ke tanah air, Nusantara. Ketika Kiai Syamsul Arifin mengembangkan Pesantren Sukorejo yang dirintisnya sejak tahun 1914 dan setelah Kiai Asâad muda malang melintang dari satu pesantren ke pesantren lain, maka Kiai Asâad yang sudah memasuki usia remaja itu dikirim kembali ke Mekah. Di sana Kiai Asâad belajar pada banyak ulama kelas dunia. Pertama, Kiai Asâad belajar pada Sayyid Abbas ibn Abdul Aziz al-Maliki 1868-1934 M./ 1285-1934 H. yang juga berguru pada al-Sayyid Abi Bakar Muhammad Syatha. Nanti anak keturunan Sayyid Abbas ibn Abdul Aziz ini menjadi guru banyak ulama nusantara. Sayyid Abbas ibn Abdul Aziz punya anak bernama Sayyid Alawi ibn Abbas al-Maliki 1910-1971 M. / 1328-1391 H., berputra Sayyid Muhammad ibn Alawi ibn Abbas 1948-2004 M./1367-1425 dan Sayyid Abbas ibn Alawi al-Maliki 1948-2015 M./ 1367-1436 H.. Sebelum wafat tahun 2004, Achmad Azaim Ibrahimy, Pengasuh PP Salafiyah Syafiâiyyah Sukorejo Situbondo periode 2012-sekarang, sempat berguru pada Sayyid Muhammad ibn Alawi. Kedua, Kiai Asâad berguru pada Sayyid Hasan ibn Saâid 1894-1971 M./ 1312-1391 H.. Ayah beliau, Sayyid Saâid ibn Muhammad ibn Ahmad Yamani, adalah guru Kiai Syamsul Arifin. Sayyid Hasan ini pengajar tetap di Masjidil Haram dan pernah mengajar di Madrasah Shaulatiyah tahun 1904 M/1322 H.â1907 M./1325 H. Murid-muridnya datang dari berbagai negara, mulai dari Mekah hingga Malaysia dan Indonesia. Bahkan, Sayyid Hasan ibn Saâid pernah berkunjung ke Indonesia sebanyak dua kali. a. Tahun 1925 M./1344 H. dan kembali ke Mekah tahun 1926 M./1345 H. b. Tahun 1930 M./1349 H. dan kembali ke Mekah 1937 M./1356 H. Bahkan, beliau tercatat pernah menjadi mufti di Terengganu Malaysia ketika beliau beberapa tahun menetap di sana dan wafat di Mekah tahun 1391 H./1971 M. Dikuburkan di Maâla Muâalla? Mekah. Ketiga, Kiai Asâad juga berguru pada Sayyid Muhammad Amin ibn Muhammad Amin al-Kutby 1909-1984 M./ 1327-1404 H.. Nama lengkapnya, al-Sayyid Muhammad Amin ibn Muhammad Amin ibn Muhammad Shalih ibn Muhammad Husain al-Kutby al-Hasani al-Hanafi. Beliau adalah ulama bermadzhab Hanafi yang mengajar secara reguler di Masjidil Haram, Madrasah al-Falah, Maâhad Iâdad al-Muâallimin. Ia menulis sejumlah buku. Salah satu karya Sayyid Muhammad Amin Kutbi yang saya koleksi adalah Nafhu al-Thiib fi Nafhi al-Habib SAW, buku yang berisi pujian dan kekaguman penulisnya pada Nabi SAW. Ditulis dalam bentuk puisi dengan diksi yang indah. Keempat, Kiai Asâad juga berguru pada Syaikh Hasan ibn Muhammad ibn Abbas ibn Ali ibn Abdul Wahid ibn al-Abbas al-Munafi al-Masysyath 1899-1979 M./1317-1399 H.. Ia adalah ulama berpengaruh al-ustadz al-muâatstsir di masanya. Dikenal sebagai al-muhaddits ahli hadits al-faqih ahli fikih al-Maliki bermadzhab Maliki. Ia menulis 17 kitab di berbagai bidang. Ia misalnya menulis al-Tuhfah al-Saniyah fi Ahwal al-Waratsah al-Arbaâiniyyah, Taâliqat Syarifah ala Lubbi al-Ushul, Inarah al-Duja fi Maghazi Khairi al-Wara, Bughyah al-Mustarsyidin bi Tarjamah al-Aâimmah al-Mujtahidin. Ia memiliki banyak murid dari berbagai negara, mulai dari Yaman hingga Indonesia. Salah satu murid Syaikh Hasan Masysyath yang dari Yaman adalah Syaikh Ismail Zain 1933-1994 M./1352-1414 H. yang kemudian menjadi guru dari salah seorang putra Kiai Asâad Syamsul Arifin, yaitu Mohammad Kholil Asâad 1970-sekarangâPendiri dan Pengasuh PP Walisongo Situbondo Jawa Timur. Dua guru Kiai Asâad yang terakhir itu, Sayyid Muhammad Amin dan Syaikh Hasan Masysyath, dari segi usia memang lebih muda dari Kiai Asâad. Namun, sebagaimana kiai lain, dalam mencari ilmu Kiai Asâad tak memandang usia. Tak masalah berguru pada yang lebih muda karena kealiman memang tak terkait dengan usia. Kiai Syamsul Arifin juga berguru pada Sayyid Abi Bakar Syatha yang usianya terpaut 8 tahun lebih muda dari dirinya. Dengan narasi ini, ingin saya katakan; sungguh beruntung para pelajar Islam yang studi di Pesantren Salafiyah Syafiâiyyah Sukorejo Asembagus Situbondo Jawa Timur karena sanad ilmu mereka melalui KH. R. Syamsul Arifin dan KH. R. Asâad Syamsul Arifin adalah sanad yang tinggi, lewat jalur ulama-ulama besar terhubung hingga ke Rasulullah SAW. Semoga berkah dan manfaat. Nafaâana Allah bi ulumihima wa afadha alaina min barakatihima, Aaamiin. Ahad, 31 Januari 2021 Oleh Abdul Moqsith Ghazali
Asâad Syamsul Arifin dianugerahi gelar pahlawan nasional berdasar Keputusan Presiden Kepres RI Nomor 90/TK/Tahun 2016 pada 3 November 2016. Butuh puluhan tahun perjuangan untuk menyematkan pahlawan nasional untuk sang Kiai Asâad. Usulan gelar pahlawan Kiai Asâad dilakukan sejak 2014 lalu. Jauh sebelumnya, usulan pengajuan gelar pahlawan Kiai Asâad pernah dilontarkan KH Ahmad Siddiq, Rais Am PBNU pada hari kedua setelah Kiai Asâad wafat pada 1990. Tahukah siapa sosok KH R Asâad Syamsul Arifin? Putra pendiri Ponpes Salafiyah Syafiâiyah, Sukorejo, Situbondo ini merupakan cicit dari pendiri Pondok Pesantren Kembang Kuning yang berlokasi di Desa Lancar, Kecamatan Larangan, Pamekasan, Madura, Jatim. Kiai Mahalli Nung Tenggi merupakan kakek buyut Kiai Asâad yang mendirikan Ponpes Kembang Kuning di Tahun, 1619 M. Kakek Kiai Asâad adalah Kiai Ruham. Neneknya bernama Nyai Nur Sari Khotijah. Sedang ayahnya adalah Ibrahim yang populer dengan nama KH R Syamsul Arifin, pendiri Ponpes Salafiyah Syafiâiyah, Sukorejo, Situbondo. Kiai Asâad lahir di perkampungan Syiâib Ali, dekat Masjidil Haram, Makkah, Arab Saudi, pada 1897. Beliau wafat di usia ke-93 pada 4 Agustus 1990 di Situbondo, Jawa Timur. Jabatan terakhir di PBNU adalah Dewan Penasihat Musytasar Pengurus Besar NU. Kiai Asâad tercatat sebagai keturunan bangsawan Sumenep. Ibu Kiai Asâad Nyai Nur Sari adalah keturunan Bindara Saud, putra Kiai Abdullah, Batuampar, Guluk-Guluk, Sumenep. Bindara Saud menjadi Raja Sumenep yang ke 29 setelah menikah dengan putri Raja Sumenep yang bernama Raden Ayu Tirtonegoro. Dari perkawinan itu, Bindara Saud mendapat gelar Tumenggung Tirtonegoro. Bindara Saud memimpin Sumenep sejak tahun 1750 â 1762 M. Ibu Kiai Asâad bernama Maimunah binti KH Muhammad Yasin, keluarga dekat Kiai Kholil, Bangkalan. Pada tahun 1890 M hari dan bulan beserta tanggalnya tidak ditemukan, KH R Syamsul Arifin menikah dengan Maimunah di Makkah. Dari perkawinan tersebut, lahir dua anak laki-laki. Kiai Asâad dan Kiai Abdurrohman. Ketika Kiai Asâad berumur 6 Tahun, secara mengejutkan Kiai Syamsul mengajak istri dan Kiai Asâad untuk pulang ke kampung halaman di Pesantren Kembang Kuning, Pamekasan. Sedangkan, Kiai Abdurrahman-adik Kiai Asâad- yang kala itu, masih berumur 4 tahun- dititipkan kepada Nyai Salkah, saudara sepupu Nyai Maimunah, yang mukim di Makkah. Kiai Syamsul terbilang lama mengembara. Sejak usia 12 tahun, Kiai Syamsul sudah mengembara dari pesantren ke pesantren. Pondok pesantren kali pertama dituju adalah Ponpes Sidogiri, Pasuruan. Dipondok pesantren Sidogiri inilah Kiai Syamsul menimpa ilmu hingga mengabdi sebagai ustadz. Sekian tahun di Sidogiri, Kiai Syamsul pindah ke Ponpes Langitan, Tuban. Setelah itu di Pesantren Bangkalan dibawah asuhan langsung Syechona Kholil. Kemudian mondok ke Mekkah bersama putra mahkota Pondok Sidogiri, Kiai Nawawi. Tidak ada keterangan rinci tentang keberangkatan ke Makkah. Kecuali penegasan bahwa Kiai Syamsul mukim di Mekkah selama 40 tahun. Di Makkah, Kiai Syamsul bertemu Nyai Maimunah binti Kia Haji Muhammad Yasin, perempuan asal Bangkalan. Pertemuan disaat musim haji itu, tahun 1890 M, Kiai Syamsul menikah dengan Nyai Maimunah di Makkah. Di kembang kuning, Kiai Syamsul ikut membantu Kiai Ruham ngajar di Pondok Kembang Kuning. Beberapa tahun berikutnya, Nyai Maimunah wafat. Ibu Kiai Asâad ini, dimakamkan di belakang Masjid Jamiâ Tallang, sekitar 300M sebelah timur Pondok Kembang Kuning. Kiai Syamsul kemudian menikah kembali dengan Nyai Siti Saidah, janda dari Kiai Syarkowiâ pendiri Pondok Pesantren, Guluk-Guluk, Sumenep. Sekitar lima tahun di Kembang Kuning, Kiai Syamsul teringat pesan gurunya saat di Makkah. Salah satu pesan gurunya adalah agar ikut mendirikan pondok pesantren untuk mengembangk an Islam. Kiai Syamsul meminta restu kepada ayahandanya kiai Ruham untuk merantau ke pulau Jawa. Permohonan Kiai Syamsul dikabulkan. Bersama sang isteri, Nyai Siti Saidah menyebarangi laut menuju Pulau Jawa melalui pelabuhan Talang Siring, Pamekasan. Perahu yang membawa Kiai Syamsul dan keluarga akhirnya sandar di Pelabuhan, Panarukan, Situbondo . Dari Pelabuhan Panarukan, Kiai Syamsul mengembara ke arah timur hingga menetap di sebuah pesantren di Desa Sambi Rampak, Situbondo. Di pesantren asuhan Kiai Sambi ini, Kiai Syamsul bermukim agak lama sambil mengajar agama. Di tempat itu, Kiai Syamsul bertemu dengan Habib Asadullah. Kiai Syamsul dinasihati Habib Asadullah agar kembali lagi ke Makkah. Nasihat habib dituruti. Beberapa tahun di Makkah, Kiai Syamsul kembali pulang ke Kembang Kuning, Pamekasan. Beberapa waktu di kembang kuning, Kiai Syamsul kembali menyebrang ke Situbondo bersama Nyai Saidah dan Kiai Asâad. Tiba di Situbondo, Kiai Syamsul sowan ke pengasuh Ponpes Sambi Rampak. Kiai Syamsul juga sowan ke Kiai Nahrawi. Di rumah Kiai Nahrawi, Kiai Syamsul kembali bertemu dengan Habib Asadullah. Dari pertemuan itu, Kiai Syamsul diarahkan lokasi Suko Beloso, belakangan dikenal dengan Sukorejo untuk berdakwah dalam menegakkan agama Islam. Di tempat itu, Kiai Syamsul harus membabat hutan sebelum mendirikan gubuk dan mushalla. Tanah Sukorejo, Asembagus saat itu masih berupa hutan belantara yang terkenal anker dan dihuni oleh banyak binatang buas serta makhluk halus. Dari tanah Sukorejo, Asembagus, Situbondo, nama KH R Asâad Syamsul Arifin berkibar seantero nusantara dan dunia.
Oleh M. Rikza ChamamiBangsa Indonesia kembali mendapat hadiah dari Presiden Jokowi. Gelar pahlawan nasional resmi disandang oleh KHR Asâad Syamsul Arifin lewat Kepres Nomor 90 yang disahkan 3 November Kyai Asâad sudah tidak asing lagi bagi bangsa Indonesia. Perjuangannya dalam melawan penjajah dilakukannya dengan penuh tulus ikhlas dan total. Tidak segan, Kiai Asâad mengeluarkan biaya besar dalam mengkonsolidasi pasukan Hizbullah-Sabilillah bersama TNI menumpas sosok fenomenal KHR Asâad Syamsul Arifin itu? Ia bernama Asâad putra pertama dari KH Syamsul Arifin Raden Ibrahim yang menikah dengan Siti Maimunah. Kiai Asâad lahir pada tahun 1897 di perkampungan Syiâib Ali Makkah dekat dengan Masjidil Haram. Garis kerurunannya berasal dari Sunan Ampel Raden Rahmat, yakni Kiai Asâad bin Kiai Syamsul Arifin bin Kiai Ruhan Kiai Abdurrahman bin Bujuk Bagandan Sidobulangan bin Bujuk Cendana Pakong Pamekasan bin Raden Makhdum Ibrahim Sunan Bonang bin Raden Rahmat Sunan Ampel.Perjuangannya dalam menegakkan agama Islam ahlussunnah wal jamaâah sungguh luar biasa. Termasuk Kyai Asâad dikenal sebagai figur yang gagah berani mengatakan kebenaran. Tidak salah jika kemampuan agamanya dipadukan dengan beladiri yang membuatnya dikenal sakti mandra Asâad menempuh pendidikan di Makkah sejak usia 16 tahun dan kembali ngaji di Jawa. Guru-gurunya di Makkah antara lain Sayyid Abbas Al Maliki, Syaikh Hasan Al Yamani, Syaikh Bakir Al Jugjawi dan ke tanah Jawa, ia belajar di berbagai pesantren Ponpes Sidogiri KH Nawawi, Ponpes Siwalan Panji Sidoarjo KH Khazin, Ponpes Kademangan Bangkalan KH Kholil dan Ponpes Tebuireng KH Hasyim Asyâari.Wajar bila keilmuan agama Kiai Asâad sangat luar biasa. Dengan bekal ilmu itu, ia meneruskan perjuangan ayahandanya membesarkan Ponpes Salafiyyah Syafiâiyyah. Sejak 1938, Kyai Asâad mulai fokus di dunia pendidikan. Lembaga pendidikan itupun dikembangkan dengan SD, SMP, SMA, Madrasah Qurâan dan Maâhad Aly dengan nama Al-Ibrahimy sesuai nama asal ayahandanya.Peran Kiai Asâad dalam pendirian organisasi Nahdlatul Ulama NU sangat nampak sekali. Dimana ia merupakan santri kesayangan KH Kholil Bangkalan yang diutus menemui KH Hasyim Asyâari memberi âtanda restuâ pendirian kali Kiai Asâad diminta sowan Mbah Hasyim. Yang pertama dijalani dengan jalan kaki dari Bangkalan Madura menuju Tebuireng. Adapun yang kedua dilakukan dengan naik mobil ârestuâ KH Kholil pada Mbah Hasyim itu berupa tongkat dengan bacaan Surat Thaha ayat 17-23 dan tasbih dengan bacaan dzikir Ya Jabbar Ya Qahhar. Ketika pertama menerima tongkat itu, Mbah Hasyim menangis. âSaya berhasil mau membentuk jamâiyyah ulamaâ tegas Mbah Hasyim di hadapan Kyai Asâ jasa Kiai Asâad sebagai penyampai isyarat langit dari Syaikhana Kholil inilah, NU berdiri. Maka ada sebutan empat serangkai ilham berdirinya NU itu terdiri dari KH Kholil, KH Hasyim Asyâari dan KH Asâad Syamsul bagi Kiai Asâad bukan organisasi biasa, tapi organisasi para waliyullah. Maka harus dijaga dengan baik. Sebab dengan NU itu Indonesia akan dikawal waliyullah, ulama dan seluruh bangsa Indonesia.âSaya ikut NU tidak sama dengan yang lain. Sebab saya menerima NU dari guru saya, lewat sejarah. Tidak lewat talqin atau ucapan. Kamu santri saya, jadi kamu harus ikut saya! Saya ini NU jadi kamu pun harus NU juga,â tegas Kiai Asâ Kiai Asâad dalam mengusir penjajah sangat nyata. Bahkan Pondok Pesantrennya pernah diserbu pasukan penjajah. Berkat kegigihannya, orang yang ada disana sudah bisa terevakuasi dengan baik. Kemahiran Kyai Asâad dalam beladiri dan seni perang menjadikan pasukannya memenangkan pertempuran di Bantal Asembagus dimana Belanda sempat mengepung markas Kiai Asâad dalam menjadikan Pancasila sebagai asas organisasi NU sudah tidak diragukan lagi. Saat Pemerintah mewajibkan penggunaan Pancasila tahun 1982/1983, NU merespon cepat dengan menggelar Munas Alim Ulama di Ponpes milik Kiai Asâ 21 Desember 1983, Munas memutuskan menerima Pancasila dan revitalisasi Khittah 1926. Pada bulan Desember 1984 dalam Muktamar NU XXVII diputuskan asas Pancasila dan Khittah NU. Dan NU menjadi Ormas pertama yang menerima besar KH Achmad Shiddiq dalam menerima Pancasila ini diiyakan oleh KH Asâad bersama KH Mahrus Ali, KH Masykur dan KH Ali Maâshum. Akibat dari menerima Pancasila itu, KH Asâad sering mendapatkan teror, surat kaleng dan ancaman mau semua ia lewati dengan penuh kebijaksanaan. Sehingga secara pelan-pelan Kiai NU dan para nahdliyyin bisa menerima dan memahami di balik makna NU berpancasila, semata-mata untuk keutuhan usianya ke 93, Allah Swt memanggil Kiai Asâad. KH Asâad Syamsul Arifin berpulang keharibaan-Nya pada 4 Agustus 1990 dan dimakamkan di komplek Ponpes Salafiyyah Syafiâiyyah. ***Penulis adalah Dosen UIN Walisongo dan Sekretaris Lakpesdam NU Kota Semarang.
putra putri kh as ad syamsul arifin